Monday, September 26, 2011

Novel: Cinta Buat Chira (16)

16

Hari yang tidak ditunggu pun tiba. Cira tak mampu menengadahkan kepalanya saat Putty ke sekolah tanpa memakai jilbabnya! Putty lepas jilbab! Lepas jilbab!!! Cira tertunduk.
“Gila! Ini benar-benar gila, Put!!!” seru Milly yang sengaja datang ke kelas Putty untuk melihat Putty yang telah melepas jilbab.
“Akhirnya elu lepas jilbab juga, Put!” kata Fera.
“Iya. Kita kan masih muda. Nggak usahlah pake jilbab dulu.” Tambah June. Ugh! Cira sebal mendengar ocehan itu.
“Ya, gue pikir juga gitu. Gue ngerasa…gimana ya? Dari pada gue munafik, sekarang gue pake besok enggak, mendingan kan gue nggak pake dulu sampe bener-bener siap.” Kata Putty sambil mengibaskan rambutnya yang telah melewati bahu itu.
“Iya, Put. Bener! Mendingan kita habisin dulu lah masa muda ini. Kalo pake jilbab kan susah. Mau ngikutin mode, nggak bisa!” kata Milly disertai anggukan kepala Fera dan June. Cira muak mendengarnya. Belum lagi dengan penggemar Putty yang langsung bersorak kegirangan melihat Putty lepas jilbab.
“Hentikan!!!” teriak Cira, kencang sekencang-kencangnya. Hening. Semua mata menatap Cira. Cira menatap Putty, tajam.
“Cira? Elu…kenapa?” tanya Putty tak mengerti. Setetes air bening jatuh di pipi Cira. Tanpa menjawab pertanyaan Putty, Cira berlari meninggalkan kelas. Meninggalkan Putty dan kawan-kawan yang terbengong-bengong.
***
“Hidayah itu bisa datang bisa pergi.” seseorang membuat Cira mendongak. Ia buru-buru menghapus airmatanya melihat siapa yang datang menemaninya menangis di teras musholla yang sepi ini. Farhan.
“Makanya kita jangan buru-buru senang setelah menerima hidayah. Kita justru harus mawas diri dan berdoa agar Allah tidak mengambil hidayah yang telah kita dapatkan.” Farhan melanjutkan. Cira tertunduk. Isak tangisnya masih terdengar.
“Gue…gue nggak tahu harus ngomong. Gue kecewa dengan Putty. Gue sebel. Semua salah gue yang nggak bisa ngingetin Putty.” Rutuknya.
“Kalau Allah menyayangi seseorang maka Dia akan memudahkan orang itu untuk melakukan perbuatan baik.” Kata Farhan sembari menghela napas. Cira terperangah mendengarnya.
“Kalau Allah…” bibirnya tak mampu lagi mengucap. Farhan mengangguk.
“Ya. Makanya kita harus selalu berdoa agar Allah selalu menetapkan hidayah ini dalam diri kita karena kita nggak tahu apa yang akan terjadi besok.”
“Berarti Allah…nggak sayang sama Putty, dong? Putty kan cantik, cerdas…”
“Allah tidak melihat seseorang melihat dari fisiknya. Dia melihat seseorang dari ketakwaannya.” Farhan memotong ucapan Cira. Cira tergugu. “Allah hanya sedang menguji Putty. Sayang sekali, ia tidak lulus ujian.” Kata Farhan sebelum meninggalkan Cira yang termangu.
***
Terima kasih Allah, atas cinta yang Kau berikan kepadaku sehingga sampai hari ini Kau masih memberikan hidayahMu kepadaku. Tapi aku tak ingin sendirian. Aku ingin Putty pun mendapatkan hidayah dariMu. Aku tahu dulu ia tak serius mendekatiMu. Ia mendekatiMu hanya untuk merebut simpati kak Adrian. Makanya sekarang ia goyah karena kak Adrian menolaknya. Aku ingin Putty kembali ya Allah. Bisakah Kau mengembalikan Putty ke jalan yang dulu? Aku yakin Kau bisa, ya Allah. Aku yakin….
***
“Gue minta maaf, Ra kalau elu marah karena gue udah ngelepas jilbab.” Pinta Putty pada keesokan harinya. Cira diam. Putty menghela napas.
Please dong, Ra. Gue kan juga punya hak untuk memilih apa yang ingin gue lakukan. Kita kan masih muda, Ra. Masih labil. Wajar aja kalau kita masih plin plan dalam mengambil keputusan.” Lanjutnya. Ganti Cira yang menghela napas.
“Gue ngerti.”
“Trus, kenapa elu masih marah?”
“Karena…karena elu udah mempermainkan hukum Allah.”
“Cira, lu kalo ngomong jangan yang berat-berat, dong.”
“Iya, jilbab itu hukum Allah. Nggak bisa elu permainkan.”
“Ya…gue kan nggak tahu. Ya…gue tahu gue salah. Lain kali gue akan mikir dalem-dalem dulu kalau mau mutusin sesuatu.”
Cira menatap Putty, dalam. “Jadi bener elu lepas jilbab karena kecewa sama kak Adrian?”
“Ya, nggak lah!” sambar Putty. “Bukan karena dia! Enak aja! Tapi karena gue emang masih pingin bebas. Apalagi lu kan tau gue ditawarin jadi model?”
“Maksud elu…elu serius dengan tawaran jadi model itu?” Cira terbelalak. Putty mengangguk cepat.
“Iya, Ra. Gue kan udah datengin agensi model itu sama nyokap gue, terus tadi malem agensi model itu nelpon gue. Malam minggu besok katanya ada acara pertemuan para model. Gue disuruh dateng karena banyak banget klien yang hadir. Siapa tahu ada yang mau make gue jadimodel.” Jelasnya dengan wajah berbinar. Cira justru tak tersenyum menanggapinya.
“Lu kok kelihatan nggak senang sih, Ra?” Putty mengeryitkan kening. Cira hanya menjawabnya dengan helaan napas.
“Lu mau kan nemenin gue, Ra?” Putty mengerjapkan mata.
“Ke mana?”
“Yah ke acara para model itu! Asyik tau, kita bakalan ketemu banyak orang beken!” jelas Putty, antusias.
“Nggak, ah! Gila aja lu!” Cira menggeleng cepat.
“Ih, kok gila sih? Serius! Waras!”
“Itu bukan tempat gue, Put!”
“Ye! Trus, tempat lu tuh di masjid gitu? Lu jangan batasin pergaulan lu dong, Ra! Ya, Ra, ya? Temenin gue?” harap Putty. Cira menggeleng cepat.
“Enggak, ah. Gue malu.”
“Plis, Ra…. Lu mau gue jadi orang cengo’ di situ? Temenin gue….”
“Aduh, Put….”
Please, Ra. Please….”
Cira pun luluh. Lagipula apa salahnya menemani Putty? Ia kan jadi bisa menjaganya.
***
Allah, terima kasih atas cintaMu. Sekarang aku tahua rti diriku. Aku memang tidak secantik Putty, tapi justru itu yang harus kusyukuri. Godaan untuk mencapai cintaMu tidak terlampau berat. Bayangkan jika harus menjadi Putty? Untuk memakai jilbabsaja beratnya bukan main. Jelas, karena Putty cantik dan ia ditawari jadimodel. Mana ada model pakai jilbab? Ah, Putty. Andai kau tahu cinta Allah itu lebih indah.
“Cira!! Buruan! Lu nggak denger apa temen lu dari tadi klakson melulu!” teriak Rana  dari ruang tengah. Cira geleng-geleng kepala mendengarnya.
“Iya, iya,tau.” Katanya sambil berlalu meninggalkan Rana dan pacarnya. Cira bertekad, Rana adalah sasaran dakwahnya yang  harus berhasil! Rana terkejut melihat Cira berpenampilan rapi.
“Eh, lu mau ke mana? Kok elu nggak bilang-bilang kalau udah punya pacar?”
“Emang gue mau pacaran? Gue pergi dulu ama Putty. Assalamu’alaikum!” seru Cira.
“Eh, jangan-jangan lu pacaran sama Putty lagi?!” seru Rana. Bodo, ah! Cira nggak mau dengerin! Emang gue pikirin?!
Putty tersenyum senang melihat Cira.
“Makasih banget ya, Ra, elu mau nemenin gue….” Katanya sambil membukakan pintu buat Cira. Cira mengangguk. Putty yang tadi duduk di depan, di sebelah supir, ganti duduk di belakang bersama Cira. Cira heran melihat Putty memakai jaket.
“Masa’ elu ke pesta pakai jaket sih?” tanyanya, bingung. Putty nyengir.
“Enggak kok. Entar jaketnya dilepas, kok.”
“Oh, dingin, ya?” Cira mengerti. Tapi tak lama ia sadar. Segera ia menguak sedikit jaket Putty.
“Auow! Cira! Yang sopan, dong!!” jerit Putty. Cira terpana melihat gaun merah Putty yang memperlihatkan punggungnya itu.
“Masya Allah! Putty! Seksi banget sih baju lu?!” tanyanya sambil geleng-geleng kepala. Putty mengatupkan jaketnya kembali.
“Ini pilihan nyokap gue! Katanya, ya begini ini baju ke pesta.” Katanya, ketus. Cira menghela napas.
“Lu…nggak malu, Put?”
“Malu?”
“Iya. Setidaknya kan lu pernah pake jilbab. Elu pernah berpakaian rapat.”
“Itu kan dulu. Gue harus membiasakan.”
“Membiasakan apa?”
“Membiasakan jadi model. Entar kan kalau jadi model gue harus mau berpakaian apa aja.”
“Termasuk telanjang?”
“Ih! Elu vulgar banget sih?! Ya, enggak lah! Gue juga tahu diri. Tapi Ra, kalau cuma pakaian kayak gini sih udah biasa.”
“Iya. Buat sebagian orang. Buat gue, enggak tuh!”
Please dong, Ra. Gue kan minta elu nemenin gue, bukan jadi komentator. Suatu saat nanti gue bakalan balik pake jilbab, deh.”
“Oh ya?”
“Udahlah! Lu bikin mood gue jadi jelek aja!”
Putty diam. Cira menghela napas. Ya Allah, tolong bukakan hati Putty. Begitu doanya dalam hati.
***
Mobil yang dikendarai supir Putty akhirnya sampai juga di tempat yang dituju. Sebuah rumah mewah di kawasan Pondok Indah. Banyak mobil mewah berjejer di halaman rumah yang luas itu. Cira menggigit bibir. Ada ragu yang menghadang.
“Ayo, Ra!” ajak Putty yang sudah melepas jaket coklatnya. Cira menghela napas melihat gaun merah Putty yang “hot” itu.
“Put, elu nggak masuk angin?”
“Cira, please, dong. Jangan norak gitu. Dan inget ya, nanti di dalem elu jangan norak!” Putty memeringatkan.
“Kalo elu nggak mau ngajak gue juga nggak pa-pa.”
“Cira! Jangan macem-macem, deh! Ayo!” Putty menarik tangan Cira, kasar. Cira patuh saja mengikutinya.
Suara house musik yang hingar bingar langsung menyambut kedatangan Putty dan Cira. Cira jengah. Ia merasa tak pantas berada di tempat seperti ini. Ia dengan jilbabnya di tengah-tengah para gadis berpakaian minim? Langkah Cira terhenti lagi. Putty geleng-geleng kepala.
“Biasa aja dong, Ra!” rutuknya.
“Gue nunggu di mobil aja deh sama supir.”
“Nggak bisa gitu dong, Ra. Gue kan juga nggak enak sendirian. Nggak ada yang gue kenal di sini. Ayo dong, Ra! Jangan berhenti di sini! Bikin malu aja!” Putty merengut. Cira jadi enggak enak. Kalau Putty marah, bisa gawat.
“Iya deh.” Katanya, terpaksa. Putty tersenyum senang. Ia menggandeng Cira menerobos kumpulan orang yang tengah berpesta.
“Aha! Putty!” seru seseorang, tiba-tiba. Anton! Senyum Putty mengembang.
“Iya, pak Anton. Saya datang.” Katanya, sumringah.
“Tidak usah memanggil “pak”. Kedengerannya saya sudah tua saja.” Anton tersenyum sambil melihat Cira sekilas.
“Ini Cira, pak, eh…Anton…temen saya yang nemenin.” Putty mengenalkan Cira kepada Anton. Anton hanya mangut-manggut.
“Maaf, bisa kan temannya ditinggal di sini dulu. Saya ingin mengenalkan kamu kepada para klien saya.” Katanya. Putty menatap Cira.
“Nggak pa-pa, kok, Put.” Cira mengerti isi hati Putty.
“Kamu bisa makan apa aja di sini.” Anton tersenyum dibuat-buat kepada Cira. Cira merengut. Emangnya gue tong sampah! Rutuknya. Tapi ia berusaha untuk tetap tersenyum.
“Ya udah, Ra. Gue pergi dulu, ya. Sebentar, kok.” Putty tersenyum. Cira mengaangguk. Sepeninggal Putty, ia jadi bengong sendiri. Ia merasa asing di sini. Asing….
“Bapak-bapak, ini model baru saya, namanya Putty.” Anton mengenalkan Putty pada para pria berjas dan berdasi di hadapannya. Putty memasang senyum semanis mungkin. Para pria itu juga senyam-senyum sambil bergantian berkenalan dengan Putty. Putty menaksir usia mereka sekitar 35-an.
“Putty, mereka ini manajer pemasaran dari berbagai perusahaan. Mereka adalah klien kita. Mereka sering memakai model dari agensi kita.” Anton menjelaskan. Putty manggut-manggut sambil tetap memasang senyum.
“Putty terlihat fresh. Masih sekolah?” tanya salah seorang yang berkumis lebat. Putty mengangguk.
“Iya, Pak. Saya masih kelas 2 SMU.”
“Jangan pakai “pak”, dong. Saya kan masih muda. Baru 31 tahun, lho.” Bapak itu tersenyum. Putty tercekat. Tiga puluh satu tahun, masih muda? Ha ha.
“Eh…iya, iya.” Putty ingin garuk-garuk kepala, tapi nggak etis, dong!
“Saya rasa Putty cocok menjadi model iklan saya. Sebelumnya…sudah pernah main iklan?” tanya pria berkumis itu lagi. Putty menggeleng.
“Dia model baru. Saya menemukannya sewaktu dia sedang berjalan-jalan di mall. Insting saya mengatakan bahwa dia bisa menjadi model besar nanti.” Anton menjelaskan. Para bapak di depannya manggut-manggut.
“Wah, jadi tidak mengawali karir sebagai model sampul?” tanya salah satu dari mereka. Putty menggeleng.
“Kalau begitu masih mentah, dong.”
“Wah, resiko besar kalau kita memakainya.”
“Pasti belum pernah berhadapan dengan kamera, kan?”
“Saya paling malas berurusan dengan model baru.”
Putty diam saja mendengar celotehan mereka. Heh, denger! Meskipun gue baru, gue nggak bakal kalah tau dengan para model yang udah lama itu! Sungutnya dalam hati.
“Tapi saya tertarik memakai Putty. Wajahnya fresh, segar dan kulitnya putih. Cocok sekali dengan kosmetik pemutih yang akan kami luncurkan bulan depan.” Pria berkumis itu berkata lagi. Putty terkesiap mendengarnya.
“Jadi Anda tertarik memakai Putty?” tanya Anton, antusias. Pria berkumis itu tersenyum sambil melirik Putty.
“Ya, tentu. Tapi saya harus banyak berbicara dengan Putty tentang brand yang akan dia iklankan.” Katanya.
“Oh…tentu, tentu, pak! Putty, silahkan ngobrol dengan pak Toni.” Kata Anton, menyebut nama bapak itu. Putty mengangguk senang. Ia pun dibawa menyingkir dari tempat itu karena suara musik yang berisik membuat mereka tak leluasa bicara.
Cira mencari-cari Putty. Aduh…manalagi tuh orang? Bisa-bisanya ngilang di waktu begini. Cira merengut. Lalu, apa arti dirinya? Cira nyesel banget deh dateng ke sini. Ia merasa tak pantas berada di sini. Semuanya glamor, beda dengan dirinya yang sederhana. Ia jadi merasa culun sendiri. Dicarinya Putty ke setiap sudut di ruangan yang besar itu. Tak ada. Aduh…mana sih Putty?
“Dik Putty sudah punya pacar?” tanya Toni dengan senyum palsunya. Kening Putty berkerut.
“Memang apa hubungannya pacar dengan iklan?” tanyanya. Toni tertawa kecil.
“Tidak. Memang tidak ada hubungannya. Saya kan hanya ingin mengetahui sedikit pribadi Putty biar kita bisa enjoy bekerjasama.”
“Oh…belum. Saya belum pernah pacaran.” Jawab Putty, ringan. Terus terang pemilihan tempat yang terpencil ini membuatnya jengah. Toni membawanya ke sebuah ruangan yang agak jauh dari tempat pesta.
“Belum pernah pacaran?” Toni terlihat terkejut.
“Belum.” Jawab Putty. Toni menegak minumannya.
“Silahkan diminum!” katanya. Putty menggeleng.
“Ini kan minuman keras, Pak. Dosa!” sahutnya. Toni tertawa.
“Ya…ya. Saya tahu. Tapi dalam lingkungan seperti ini kamu harus membiasakan itu karena ini sudah menjadi kehidupan kita.”
“Oh ya? Saya tidak perlu begitu, kan?”
“Kamu gadis yang pintar.”
“Ya tentu. Saya memang selalu juara kelas.”
Toni tertawa mendengar kalimat Putty barusan. Benar-benar gadis yang lugu.
“Kenapa tertarik jadi model?”
“Karena saya tahu saya punya potensi. Saya sudah sering mendaftar jadi gadis sampul, tapi ditolak karena tinggi saya kurang.”
“Sayang sekali. Padahal dalam iklan, tinggi tidak masalah. Apalagi kalau hanya menampilkan face….”
“Oh, begitu….”
“Makanya saya tertarik memakai kamu.”
“Bisa jelaskan tentang produknya?”
“Ya, produk kosmetik remaja. Ngomong-ngomong, saya belum menikah. Makanya saya tak suka dipanggil “pak”.” jelas Toni. Kening Putty berkerut. Apa hubungannya status tuh bangkot sama iklannya? Suka nggak nyambung gitu, deh.
“Kenapa, pak, eh, om?”
“Kenapa apa?”
“Kenapa belum menikah? Kan ngejomblo lama-lama nggak enak.” Putty terpaksa menanggapi. Toni tertawa lagi. Sepertinya ia sudah mulai mabuk. Rasanya tak pantas untuk pria yang bergaya eksekutif itu.
“Ya memang. Tapi susah mencari gadis yang baik untuk dijadikan istri.”
“Ah, banyak kok, om, kalau om memang serius mau menikah.”
“Yah, memang sebenarnya saya saja yang belum siap berkomitmen. Enggak enak kalau sudah diikat.”
Putty hanya manggut-manggut mendengarnya. Gadis 16 tahun sepertinya ngobrol dengan pria berusia 31 tahun seperti pak, eh, om Toni ternyata nyambung juga meski Putty merasa eneg.
“Putty, kamu…” Toni mulai ngelantur. Kening Putty berkerut. Toni merayap mendekatinya.
“Eh, Om, kenapa, Om?”
“Kamu itu model baru, Put. Saya bisa melejitkan kamu. Saya bisa…asal…” Toni semakin mendekat. Putty ketakutan. Gawat! Mana ia terkurung dalam kamar yang terkunci ini lagi!
“Put! Putty! Elu di mana?!” Cira mencari-cari. Tak ada. Putty tak ada di mana-mana. Duh, ia cemas juga. Ke mana sih Putty? Cira pun mencari sampai ke ruangan yang sebenarnya tamu sepertinya dilarang masuk.
“Put! Putty!!”
“Putty…” Toni menggapai tubuh Putty.
“Pak! Sadar, Pak! Om! SADAR!!! Saya kan masih kecil!!!” Putty berteriak. Tanpa sadar ia menangis. Ia  terjebak! Toni sudah meraihnya. Putty berusaha melepaskan diri.
“TOLONG!!!”
“Putty! Putty!!! Elu di mana?!” seru Cira.
“TOLONG!!!” Putty berteriak sekencang-kencangnya. Sambil menangis. Tak ada yang mendengarnya karena suara musik yang keras. Ya Allah! Allah! Ia jadi ingat Allah. Allah, maafin Putty. Selamatin Putty!! pintanya.
“Putty! Putty!” Cira tahu, Putty ada di dalam kamar ini. Ia berusaha membuka pintunya, tapi tak bisa.
“Cira, tolongin gue!!!” jerit Putty sambil menatap mata Toni yang merah. Toni terlihat sangat bernafsu. Putty melindungi tubuhnya dengan kedua tangannya yang mungil.
“Putty! Buka pintunya, Put! Lu kenapa?!”
“Nggak bisa! Pintunya dikunci!!!” Putty menangis sebisanya.
“Putty…nggak pa-pa, kok. Ini kan demi karir kamu juga….” Toni tersenyum menjijikkan. Putty makin kencang menangis.
“Enak aja!” rutuknya. Cira yang sadar Putty dalam bahaya segera berlari ke luar memanggil supir Putty.
“Aduh, Neng, non Putty kenapa?” tanya si supir, cemas.
“Nggak tau, Pak! Buruan deh pokoknya!” kata Cira, cemas. Bersama supir Putty, ia mendobrak pintu.
BRAK!!!
“Cira!!” Putty menjerit histeris, sementara supirnya sibuk memukuli Toni. Putty menangis sejadi-jadinya di pelukan Cira.
“Cira…Cira gue nyesel, Ra…” Putty sesegukan.
“Ayo, Put, kita tinggalin tempat ini. Kita nggak cocok di sini. Kita jadi anak baik-baik aja, ya.” Cira memapah Putty keluar dari tempat menakutkan itu. Putty masih memeluk Cira, erat dalam perjalanan pulang sementara si supir terus-terusan mengucap syukur.
Alhamdulillah, Neng. Untung Neng nggak pa-pa.” Katanya.
“Gue nyesel, Ra. Gue nyesel….” Putty sesegukan. Cira mengangguk. “Ini pasti balasan dari Allah karena gue udah mempermainkan hukumnya.” Putty makin sesegukan.  Cira mengangguk.
Alhamdulillah, Put. Syukur elu selamat.” Katanya, menabahkan.
“CI…RA!!!”
“Put, udah, Put. Tenang….”
“Gue pengen tobat, Ra. Masih ada waktu, kan?”
“Masih, Put. Tentu aja masih. Sebenarnya gue juga merasa nggak enak waktu pertama kali lepas jilbab, tapi gue berusaha cuek dan akhirnya terbiasa. Padahal gue merasa….” Putty tak sanggup meneruskan kalimatnya. “Cira…kalau elu nggak datang….”
“Itu semua pertolongan Allah, Put. Dia masih menyintai kita. Dia masih melindungi kita sehingga kita nggak tersesat. Kalau nggak ada kejadian ini mungkin elu akan tetap jadi model.” Cira membelai rambut Putty. Putty mengangguk.
“Benarkah Allah menyintai kita, Ra?”
“Iya, Put. Allah menyintai semua hambaNya tanpa melihat fisik, keturunan apalagi harta mereka. Cinta Allah tuh tulus, Put dan nggak akan mati meski kita mati. Beda ama cinta manusia. Kita aja yang suka nggak sadar.” Mata Cira berkaca-kaca saat mengucapkan kalimat barusan.
“Gue bahagia, Put dengan cinta itu. Gue nggak perlu cinta yang lain. Cinta yang lain itu semu. Fatamorgana. Gue hanya butuh cinta Allah. Cinta Allah, Put. Cukup Allah saja cinta buat gue. Yang lain cuma jembatan untuk menggapai cinta Allah.” Kata Cira. Putty menguatkan pelukannya.
“Gue juga ingin cinta itu, Ra. Ingin sekali….”
***
SELESAI

Alhamdulillah, sudah selesai. Lanjutkan dengan membaca Novel True Love, yuuk...
Klik di sini untuk membaca novel True Love, yaaa

1 comment:

  1. wah..ketemu mbak leyla di postingan baruuu blogspot...

    follow blog An juga, ya, mbakkk

    www.aniamaharani.blogspot.com

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...