Monday, September 26, 2011

Novel: Cinta Buat Chira (14)

14

Ini hari pertama Cira jadi anak kelas dua. Agak deg-deggan juga, sih. Soalnya di hari pertama ini kan dia tampil dengan penampilan baru. Berjilbab, bo! Emang sih, kalau anak-anak Rohis udah pasti tahu dia sudah berjilbab, tapi kalau anak-anak yang nggak ikut Rohis (dan itu lebih banyak) kan nggak tahu. Makanya Cira agak grogi nih menghadapai mereka. Kira-kira apa ya komentar mereka? Ah, sebodo amat lah. Palingan komentar mereka nggak jauh-jauh dari hinaan, cacian dan maikan.  Cira udah kebal! Nggak mempan! Emang Cira pikirin?! Lagian teman-teman sekelasnya yang dulu, kan juga udah berpencar ke mana-mana. Maklum, setiap kenaikan kelas kan penghuni kelasnya diacak lagi. Cira belum tahu nih dia masuk kelas mana dan apakah akan bersama Putty lagi. But, semoga sih dia nggak sekelas lagi sama Tiga Ratu Gosip itu.
“CIRA!!! My God! What happens to you?!!” seru Milly, tiba-tiba. Ugh, Milly! Emang tuh orang suka nongol tiba-tiba!
“Cira? Is that you?” tanya Fera, ikut-ikutan pake bahasa Inggris.
“Cira, kamu juga kena virusnya Putty, ya?” June menatap heran. Cira menghela napas.
“Udah, deh. Kalian nggak usah komentar dulu. Gue mau nyari sahabat gue en kelas gue, nih.” Sahutnya. Milly, Fera dan June menatap Cira dari atas sampai bawah.
“Cira, lu makin jelek tau nggak sih!” cetus Milly, sadis.
“Iya! Makin gembrot, gemuk dan berbobot!” tambah Fera.
“Kayak kura-kura ninja! Iya, nggak, Fren?” June nyengir. Cira terbelalak mendengarnya. Swear! Ini benar-benar menyinggungnya. Keterlaluan!
“DIAM!!!” teriak Cira, kencang, membuat tiga Ratu Gosip terbelalak. Cira melotot.
“Kalian boleh menghina fisik gue sesuka kalian! Tapi jangan hina jilbab gue, dong! Kalian menghina jilbab ini, sama aja kalian menghina Allah yang udah nurunin perintah berjilbab ini!!!”
Tiga Ratu Gosip terbengong-bengong melihat Cira marah. Baru kali ini Cira marah. Biasanya kan ia hanya diam saja kalau dihina.
Cool aja dong, Ra. Kita kan cuma bercanda.” Kata Milly.
“Iya, Ra. Lu kok langsung sewot gitu, sih?” tambah Fera.
“Bukan begitu. Becanda sih boleh aja, tapi liat-liat dulu, dong. Jangan asal bacot aja. Di mata orang mungkin kalian oke secara fisik. Asal kalian tahu, ya, Allah tuh nggak nilai orang dari fisiknya, tau!” cerocos Cira. Milly, Fera dan June bertatapan.
PLOK. PLOK. PLOK.
“Wow, Cira! Hebat luh! Emang udah saatnya nih tiga Ratu Gosip dikasih pelajaran. Biar mereka nggak asal ngomong!” cetus Putty yang baru datang sambil bertepuk-tangan.
“Eh, Put, lu jangan ikut-ikutan, ya!” ancam Milly.
“Kenapa enggak? Kalian bertiga, jadi Cira juga musti ada temennya, dong!” Putty melirik Cira, tersenyum. Milly, Fera dan June hanya bisa bertatapan.
“Ah, udah, ah! Gue cabut!” kata Fera.
“Gue juga!” June ikut-ikutan. Mau tak mau Milly mengikuti langkah kedua temannya. Cira dan Putty tertawa bersamaan.
“Wah, sukses lu ngerjain tiga Ratu Gosip itu!” seru Putty.
“Ah, enggak. Gue nggak bermaksud ngerjain mereka, kok. Gue cuma nggak suka dengan hinaan mereka tadi.” Cira tersenyum.
“Yah, apa deh. Yang penting sekarang kita sekelas lagi.” Kata Putty, mengejutkan.
“Apa, Put? Kita sekelas lagi?” Cira tak percaya.
“Iya. Tuh pengumumannya di depan ruang TU.” Tunjuk Putty. Tanpa diduga-duga, Cira langsung memeluk Putty.
Alhamdulillah! Akhirnya gue nggak usah repot nyari teman semeja lagi!” serunya, gembira.
“Eh, eh, eh, tunggu! Emang gue udah bilang mau duduk sama elu lagi?” Putty berusaha melepaskan pelukan Cira.
“Ya…Putty…masa’ sih elu nggak  mau duduk sebangku sama gue lagi?” Cira cemberut. Putty tersenyum.
“Mungkin kalau orang lain nggak mau duduk sama elu, Ta. Boros tempat. Tapi kalau gue…so pasti lah!” katanya sambil mengedipkan mata. Kedua mata Cira langsung berbinar-binar.
“Makasih ya, Put! Elu emang sahabat sejati gue!” serunya sambil memeluk Putty lagi.
“Udah! Udah! Lepasin! Entar jilbab gue berantakan, nih! Elu juga musti bersyukur karena kita nggak sekelas sama tiga Ratu Gosip itu!” kata Putty.
“Bener?!” kedua mata Cira terbelalak. Putty mengangguk. Cira langsung memeluknya lagi.
“Gue bahagia banget, Put!!!
“CIRA! UDAH!!!” Putty melengos.
***
“Eh, Ra, nggak terasa ya kita sekarang udah kelas dua. Berarti sekarang kita udah agak gedean dikit.” Kata Putty sebelum melahap baksonya. Cira mengangguk.
“Iya, Ra. Gue juga pengen cepet-cepet dewasa. Gue nggak sabar jadi apa gue nanti.”
“Ah, kalau gue sih nggak mau. Nikmati aja dulu masa muda kita.”
“Ye! Elu!”
“Iya, bener. Eh, menurut elu, kita udah pantes belum, ya, pacaran?” Putty menatap Cira. Cira tak jadi memasukkan bakso ke mulutnya mendengar pertanyaan barusan.
“Pacaran? Emang elu mau pacaran, Put?” tanyanya. Putty tersenyum misterius.
“Iyalah. Kalau gue sih merasa gue udah pantes pacaran. Dulu-dulu tuh gue masih ragu, kayaknya gue masih kecil…banget. Tapi sekarang, kayaknya gue udah siap deh pacaran.”
“Emang elu udah punya gebetan?” tanya Cira lagi.
“Yah…Cira. Masa’ elu lupa, sih? Kan gue udah bilang kalau gue naksir Kak Adrian.” Bisik Putty, takut terdengar penghuni kantin yang lain. Maklum, Adrian itu termasuk beken di sekolah. Cira hampir saja tersedak.
“Jadi…elu serius sama Kak Adrian?”
“Iyalah. Sebenarnya kan sehabis pentas seni di Taman Mini itu, gue mau bilang ke Kak Adrian kalau gue sayang dia. Eh ternyata ada insiden yang menggagalkan rencana gue itu. Ya udah, deh. Gue musti susun rencana lagi.”
“Put, elu…lagi sadar, kan?”
“Ya sadar lah! Emang kenapa sih? Emang nggak boleh cewek nembak cowok? Tuh si Vivi, Mela, Titin, nembak cowoknya duluan dan sekarang mereka masih lengket aja.”
“Put, maksudnya…elu mau nembak Kak Adrian?!”
“IYA!” Putty menutup mulutnya, “Iya, Ra. Emang kenapa sih?” tanyanya sambil tengok kanan-kiri. Cira menelan ludah, tapi itu bukan berarti dia sudah nggak nafsu lagi sama baksonya.
“Lu serius, Put? Elu…udah persiapkan semuanya?”
“Tenang. Gue udah lama mikirin itu dan gue semakin mantap. Kak Adrian adalah jodoh yang cocok buat gue!” kata Putty, mantap.
“Terus…kapan lu akan melaksanakan misi lu itu?”
“Em…kapan, ya? Yah, hari ini juga gue siap kalau gue ketemu Kak Adrian.” Jawab Putty, tersenyum. Cira melongo.
***
Ah, gue nggak mau komentar tentang rencana Putty yang gila itu. Mungkin dia emang udah nggak tahan pengen jadi pacarnya Kak Adrian. Yah, emang sih Kak Adrian tuh ganteng buanget. Pantes aja Putty naksir. Bener-bener deh, Putty. Sukses dia nyembunyiin rahasia ini dari gue. Gue pengen tahu apakah Kak Adrian akan menerimanya? Kalau dilihat-lihat sih, kayaknya nggak ada seorang cowok pun yang akan menolak Putty. Seperti yang selalu gue bilang, Putty itu cantik, pinter dan sekarang dia kelihatan alim karena berjilbab dan ikut Rohis. Kalau gue jadi cowok, pasti susah deh menolak Putty. Gue pasti akan menerimanya. Tapi kalau Kak Adrian? Entahlah. Semoga Putty berhasil.
***
 “CIRA!!!!!!!!!!!!!!!”
Cira cuma bisa bengong mendengar teriakan barusan. Benarkah Putty yang barusan berteriak? Ternyata benar! Saat ini Putty sedang menangis sambil duduk di tempatnya. Cira heran. Tumben-tumbenan Putty nangis?
“Put? Elu nggak pa-pa, kan?” tanyanya sambil duduk di bangkunya. Tangis Putty malah makin kencang.
“Eh, Put, elu kenapa sih? Elu jangan bikin gue bingung dong!” seru Cira, cemas. Putty langsung memeluknya.
“Cira! Gue nggak percaya!!!”
“Nggak percaya apa?”
“Gue…gue…gue ditolak!!!” Tangis Putty meledak. Cira bengong. DITOLAK?
“Maksud elu…apa, Put?”
“Cira…kenapa elu belum ngerti juga, sih? Kemarin gue udah ngomong sama Kak Adrian, dan dia….” Putty sesegukan. Cira mengerti sekarang.
“Put, elu…ditolak?”
“IYA!!!” Putty memeluk Cira lagi. Cira sampai nggak bisa napas.
“Put, Put, udah, Put….” Katanya,  menabahkan. Ia tak habis pikir. Kak Adrian menolak Putty? Memangnya apa yang kurang dari Putty?
“Kak Adrian bilang, dia belum siap menerima gue.” Putty mulai bercerita. Cira melongo.
“Memangnya kenapa?”
“Yah dia bilang: Putty, kita kan masih muda. Jalan kita masih panjang. Kita sekolah aja dulu yang benar. Nanti kalau kita sudah cukup umur, jasmani dan rohani kita sudah siap, baru deh kita berpikir ke sana.” Jelas Putty. Cira manggut-manggut meskipun belum mengerti.
“Aku heran, kenapa pakai persiapan dulu, ya?”
“Makanya, gue juga bingung. Ternyata dia pikir, gue ngajak dia nikah! Dasar otak udang! Mana mungkin gue ngajak dia nikah? Gue juga tahu, gue masih kelas dua SMU! Gue juga nggak mau nikah sekarang meskipun sama orang seganteng dia. Gue kan ngajak dia pacaran! Sebel!” Putty menggerutu. Cira manggut-manggut. Sekarang dia sudah agak mengerti.
“Jadi, begitu?”
“Masa’ dia bilang: Putty, kalau pacaran nggak mungkin. Kamu kan tahu pacaran itu dosa. Gue bengong. Pacaran dosa? Gue baru tahu. Gue nggak percaya! Itu pasti cuma akal-akalannya aja buat nolak gue! Gue heran. Apa yang kurang dari gue?! Gue kan cantik, banyak cowok yang naksir gue. Gue juga udah pake jilbab dan udah ikut Rohis. Sebel. Sebel!!!!” Putty menjerit-jerit tak karuan. Cira hanya bisa bengong melihatnya. Putty menatap Cira.
“Cira, kenapa?!!!”
“Nggak tau, Put. Gue juga bingung. Mungkin….” Cira tak melanjutkan kalimatnya.
“Mungkin apa?!!” teriak Putty, kencang. Cira hampir saja meloncat dibuatnya.
“Em…mungkin…elu bukan tipe cewek yang disukainya. Bisa aja, kan?” Cira agak takut saat mengucapkan itu. Putty menatap Cira, lekat. Cira bisa melihat kabut di bola mata Putty.
“Gue…bukan…tipe…cewek…yang disukainya…?” Putty tak terima.
“Itu kan cuma ‘mungkin’, Put.” Cira berusaha mendamaikan hati Putty.
“CIRA!!!!” Putty meraung-raung lagi sambil memeluk Cira. Cira tak bisa berbuat apa-apa. Ditolak emang nggak enak. Apalagi yang ditolak cewek sekaliber Putty. Cira jadi penasaran. Cewek tipe apa sih yang disukai Kak Adrian sampai dia nolak Putty yang udah 99 persen sempurna ini?
***
Ini pelajaran  buat gue. Ternyata nggak semua cowok suka cewek yang cantik kayak Putty. Contohnya Kak Adrian. Kok bisa-bisanya gitu lho dia nolak Putty? Gue nggak ngerti. Apa yang kurang dari Putty? Gue rasa…nggak ada yang kurang. Atau emang persangkaan gue itu benar? Putty bukan tipe cewek yang disukai Kak Adrian. Bisa aja, kan? Trus, kalau Putty aja nggak suka, cewek yang gimana lagi yang disukai Kak Adrian. Perasaan Putty tuh nggak ada yang ngalahin deh di sekolah ini. Kalau di sekolah lain ya nggak tahu ya. Mungkin Kak Adrian udah punya pacar? Iya, yah. Mungkin aja. Tapi kalau udah, penolakannya nggak bakalan ribet kayak gitu dong. Pake bilang belum siap segala. Aneh! Gue jadi penasaran pengen tahu. Tapi gimana caranya? Lagian repot amat sih gue!
***
“Put, besok ikut kajian?” tanya Cira sambil memberesi buku-bukunya usai bel pulang berbunyi. Tak ada jawaban. Wajah Putty malah terlihat kesal.
“Put?”
“Masa’ elu nggak ngerti sih, Ra? Apa perlu gue jelasin lagi? Gue sebel! Sebel!!!” jerit Putty, histeris. Cira terkesiap. Jadi ceritanya Putty masih marah dengan kejadian seminggu lalu itu, neh?
“Maksudnya…elu…nggak mau ikut kajian lagi?” tanyanya, hati-hati.
“Nggak! Jangankan kajian, ikut Rohis pun enggak! Gue nggak mau ketemu sama cowok yang nggak tahu diuntung itu!” hardik Putty. Cira manggut-manggut.
“Ya….”
“Kok ‘ya’, sih?”
“Ya…iya. Berarti gue nggak ada teman ke kajian lagi, dong!”
“Terserah! Kalo elu mau berhenti dari Rohis juga, gue seneng banget, tuh! Ngapain sih ikut Rohis? Bikin bete aja!” Putty memaki.
“Iya, oke, deh. Tapi kan yang salah Kak Adrian, masa’ Rohis jadi kena imbasnya juga?”
“Jelas! Dia kan ketua Rohisnya. Selama ada dia, ya gue nggak mau ikut Rohis lagi!” sahut Putty. Cira menghela napas.
“Ya…Putty. Jadi elu bener-bener nggak mau….”
“Iya! Titik! Udah, ah! Nggak usah ngomongin itu lagi! Kalau elu sahabat sejati gue, mustinya elu juga berhenti dari Rohis!” potong Putty. Cira melongo mendengarnya.
“Gue, Put?”
“Iya lah! Kita kan masuk Rohis bareng, keluarnya juga bareng!”
“Tapi…” Cira berpikir keras, “Nggak mungkin, Put.”
“Kenapa enggak? Oh iya. Elu  masih ngincer Farhan, kan?” Putty menatap Cira, sinis. Cira menggeleng cepat.
“Bukan, Put! Bukan! Gue udah nggak mikirin Farhan lagi, kok!” serunya, cepat.
“Ah, masa’? Karena Farhan udah nggak sekelas sama kita lagi, begitu? Bohong! Elu pasti masih naksir sama Farhan, kan?” Putty menatap Cira, tajam. Cira tersudut.
“Em…bener, kok! Sampai setelah elu nyebut-nyebut nama Farhan sekarang, gue udah nggak mikirin dia lagi.”
“Udahlah, Ra. Gue yakin, elu tuh juga nggak bakalan dapetin hati Farhan. Elu nggak bakalan berhasil, deh. Jadi, daripada elu buang-buang waktu pedekate ke dia lewat Rohis, mendingan berhenti aja dari sekarang. Kalau enggak elu bakalan nyesel kayak gue!” urai Putty. Cira termangu.
“Gue…” Ia bingung hendak berkata apa, “Gue nggak pernah kepikiran begitu,”
“Apa maksud lu?” Putty melotot. Cira menelan ludah.
“Itu cuma pikiran elu aja. Waktu pertama gue ikut Rohis, emang sih karena omongan lu yang bilang kalau Farhan pengen gue ikut Rohis. Tapi lama kelamaan, gue ngerasain sesuatu yang lain. Sesuatu yang nggak cuma soal Farhan aja. Gue ngerasain kebersamaan, persaudaraan dan indahnya Islam di Rohis.” Ucapnya, pelan.
“Lu ngomong apa, sih, Ra?” Putty geleng-geleng kepala.
“Ya…gitu deh. Ikut Rohis, ikut kajian, ikut mentoring, jalan-jalan, semuanya tuh bener-bener nyenengin gitu, lho. Gue pernah nggak ikut mentoring sekali karena flu berat, dan gue merasa kehilangan. Gue rasa gue nggak bisa lepas dari Rohis. Elu salah kalau gue bakalan berhenti dari Rohis cuma gara-gara Farhan.” Cira memperjelas. Putty melongo.
“Elu…gue…gue masih nggak ngerti!”
“Yah, elu nggak bakalan ngerti karena selama ini elu emang nggak deket sama Rohis. Kalau pun elu dateng kajian, pikiran elu ke mana-mana. Jadi, gimana elu bisa ngerti. Pokoknya gitu deh, Put. Sorry ya  gue nggak bisa ngikutin jejak elu lepas dari Rohis.” Cira menatap Putty, dalam. Putty membuang muka.
“Lu emang nggak setia!” makinya.
“Putty…jangan gitu, dong…kita kan nggak selalu harus sama.” Harap Cira. Putty bangkit dari duduknya.
“Gue pikir setelah gue menceritakan semuanya, elu  bakalan ngertiin gue. Ternyata elu cuma mikirin diri lu sendiri! Gue benci!” makinya sebelum meninggalkan Cira yang termangu. Cira hanya bisa menghela napas.
***
Kenapa semuanya jadi begini, ya? Kenapa Putty jadi nyalahin Rohis? Kak Adrian kan beda dengan Rohis dan Rohis bukanlah Kak Adrian. Kalau Putty emang lagi marah sama Kak Adrian, bukan berarti Rohis juga kena getahnya, kan? Udah gitu, gue juga kesangkut lagi. Masa’ gue juga harus meninggalkan Rohis sebagai bukti kesetiaan gue? Duh, Putty. Bukan gue nggak setia, tapi…ah, lu udah tahu, kan? Gue udah ngejelasin semuanya ke elu dengan jelas, las, las! Trus, apalagi? Gue bingung, nih. Besok Putty masih marah sama gue nggak ya? Gue nggak mau marahan sama dia cuma gara-gara masalah sepele ini. Menurut gue sih sepele, tapi menurut Putty kayaknya nggak tuh! Ah, nggak tahu deh. Kita lihat aja besok.
***
Ternyata apa yang tidak diinginkan Cira jadi kenyataan. Putty masih marah padanya. Tidak sedikit pun Putty menatap Cira, apalagi menyapa. Mereka memang duduk semeja, tapi seperti tak saling kenal. Cira jadi nggak enak. Apakah ia memang  harus berhenti dari Rohis untuk membuat Putty senang? Duh, ia nggak bisa. Ia nggak bisa memilih di antara keduanya. Ia ingin tetap bersahabat dengan Putty dan tetap ikut Rohis. Kenapa sih Putty nggak  ngerti?
“Gimana dong, Mbak? Cira bingung, nih.” Cira menatap Mbak Naila yang dari tadi hanya manggut-manggut saja mendengar ceritanya barusan.
“Mbak!” seru Cira lagi. Naila terkesiap, lalu tersenyum.
“Iya, iya, Ra. Mbak ngerti. Masalah seperti ini udah sering banget terjadi.”
“Sering, Mbak?”
“Iya. Nggak cuma Putty yang akhirnya kecewa.”
“Maksud Mbak apa, sih?” Cira nggak ngerti. Naila menatap Cira dan menggenggam tangannya.
“Kamu masuk Rohis bukan karena ikhwan, kan?” tanyanya, dalam. Cira tertunduk. Wajahnya merah seketika.
“Ya…sebenarnya….” Cira nggak enak cerita. Naila tersenyum memahami.
“Ya, Mbak ngerti. Emang banyak sih yang begitu. Kalau niatnya emang nggak bener dari pertama, udah tentu kita akan kecewa. Makanya kalau mau melakukan kebaikan, niat kita jangan sampai salah.” Nasehatnya.
“Iya, Mbak. Awalnya Cira juga gitu, sih. Tapi kan lama-lama enggak. Cuma Putty ini nih. Ternyata niatnya tetep nggak berubah dan ketika dia gagal mendapatkan apa yang dia inginkan, dia kecewa.” Cira menghembuskan napas. Naila mengangguk.
“Bukan cuma Putty. Dulu-dulu juga ada akhwat yang masuk Rohis karena naksir Kak Adrian atau ikhwan yang lainnya. Kebalikannya juga ada. Ada ikhwan yang masuk Rohis karena mengincar akhwat. He he. Lucu, ya?” Naila tertawa kecil. Cira jadi malu karena merasa menjadi bagian dari orang-orang yang disebutkan Naila barusan.
“Seharusnya kan, Dek, niat kita hanya untuk Allah aja. Kita masuk Rohis karena ingin belajar agama lebih banyak dan beramar ma’ruf nahi munkar. Kalau niatnya karena Allah, cobaan seberat apapun pasti akan ikhlas kita jalani. Tapi kalau niatnya melenceng, ya kita akan mudah menyerah.” Lanjut Naila. Cira manggut-manggut.
“Iya, Mbak. Syukur deh niat Cira sekarang udah nggak ke sana lagi.” Cira tersenyum.
“Emang sih ikhwan yang pernah diincar Cira?” selidik Naila. Cira melotot. Yang bener aja?! Masa’ dia harus jujur sama Mbak Naila?
“Ah, enggak, Mbak!” serunya, cepat.
“Ya udah, nggak pa-pa. Yah, pokoknya sekarang Cira lurusin niat aja yah. Semoga niat Cira ikut Rohis murni karena Allah aja.” Naila menepuk-nepuk bahu Cira. Cira mengangguk.
“Tapi, Mbak. Ada yang mau Cira tanyain.”
“Apa?”
“Em…itu lho. Kata Kak Adrian, dia nggak mau pacaran sama Putty karena dia belum siap. Cira nggak ngerti sama kata-katanya itu. Kayaknya kok, aneh banget gitu, lho.” Cira mengertukan kening. Naila tersenyum.
“Oh…itu. Yah, mungkin ini salah Mbak juga karena belum pernah jelasin materi tentang pacaran dalam Islam.”
“Pacaran dalam Islam?” Cira malah makin bingung.
“Iya, Dek. Di dalam Islam, pacaran itu nggak ada. Karena Allah melarang kita mendekati zina dan pacaran adalah salah satu sarana mendekati zina. Jadi sebenarnya Kak Adrian menolak Putty karena dia memang tidak mau pacaran, karena dia tahu pacaran itu nggak ada dalam Islam.” Jelas Naila. Cira manggut-manggut.
“Jadi…begitu, Mbak. Jadi…yang Farhan pernah bilang itu….” Cira jadi teringat sesuatu.
“Farhan?” Naila mengerutkan kening. Cira menutup mulut.
“Em…iya, Mbak. Farhan pernah bilang kalau pacaran itu dosa. Cira nggak ngerti maksudnya. Kalau emang dosa, kok banyak temen kita yang ngelakuin dan orangtua mereka nggak ngelarang? Cira pengen nanya ke Farhan, tapi lupa terus.” Jelasnya. Naila mengangguk.
“Yah, sekarang Cira udah tahu, kan?”
“Terus, Mbak, kalau pacaran nggak boleh, berarti kita nggak boleh jatuh cinta, dong? Padahal kan jatuh cinta datangnya nggak disangka-sangka.” Cira tertunduk. Naila tersenyum.
“Yah, jatuh cinta itu kan fitrah. Tinggal bisa-bisanya kita aja mengelolanya, gimana biar kita nggak jatuh cinta pada waktu yang salah, tempat yang salah dan orang yang salah.”
“Maksudnya?”
“Karena kita masih SMU, kita belum siap nikah, ya sebisa mungkin kita menghindari virus-virus cinta masuk ke dalam hati kita. Rasulullah udah ngasih tahu caranya, diantaranya dengan menundukkan pandangan. Cinta itu kan datang dari pandangan mata.” Jelas Naila. Cira manggut-manggut.
“Wah, berarti kita harus nunduk terus, dong!”
“Ya nggak gitu. Pokoknya asal jangan sampai mata kita melanglang buana aja.”
“Terus, Mbak, kalau kita nggak boleh pacara, dapat jodohnya dari mana?”
“Yah, kalau sudah siap menikah, jodoh itu akan datang dengan sendirinya. Nggak usah khawatir, deh. Malah kualitas jodoh kita akan lebih baik. Perempuan yang baik kan jodohnya dengan lelaki yang baik. Kalau kita nggak pacaran dan menjaga diri, insya Allah kita juga akan mendapatkan pendamping yang nggak pacaran dan menjaga diri. Itu sudah janji Allah.” Urai Naila. Cira takjub mendengar uraian barusan.
“Oh…ternyata begitu, Mbak. Kayaknya simpel banget, ya?”
“Ya…begitulah.”
“Tapi, Mbak…” Cira tertunduk. “Apakah cewek gendut dan nggak menarik seperti Cira ada jodohnya?” tanyanya. Naila menghela napas.
“Cira, jodoh sudah ditentukan Allah. Insya Allah kamu juga ada jodohnya, dan jodoh untuk kamu pastilah yang berkualitas karena dia nggak memandang kamu dari fisik aja. Suatu saat nanti dia akan datang. Kalau dia memang tidak datang, berarti jodoh kamu disiapkan Allah di sana, di kehidupan yang lain. Dan pastilah di kehidupan yang lain itu jodohmu lebih bagus daripada yang di dunia.” Katanya sambil menggenggam tangan Cira. Cira tersenyum. Kata-kata itu dan genggaman tangan itu benar-benar menguatkannya. Ah, Mbak Naila….
“Ya, Mbak….” Entah kenapa Cira tak bisa menahan derai tangisnya. Naila memeluknya.
“Tunggu saja, Cira. Suatu saat nanti pasti akan datang pangeran terbaik yang akan meminangmu.” Katanya, menyejukkan.
***
Semoga apa yang dikatakan Mbak Naila tadi siang benar. Akan ada seorang pangeran yang datang meminangku tanpa melihat fisikku. Tapi…benarkah itu ada? Kalau pun memang tak ada, ya sudah. Mungkin cinta manusia memang tak pantas untukku. Aku akan mencintai Dzat Yang Mahaadil saja. Dia mencintai tanpa memandang fisik kita. Dia mencintai hati yang baik, akhlak yang mulia dan ibadah yang tertuju hanya untukNya. Dia mencintai dengan tulus, lebih tulus daripada manusia mana pun. Aku rasa, aku pun seharusnya hanya mencintai Dia saja. Eh, ngomong-ngomong kalian sudah tahu, kan siapa Dia itu?
***
Klik di sini untuk baca kelanjutannya yaa

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya.
Mohon gunakan kata-kata yang sopan dan santun yaaa.....

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...